‘Berdasarkan data BPS Indonesia, ranking IPM Jawa Barat berada di peringkat 10 nasional. Jika dikaji IPM kabupatan kota di Jawa Barat, maka daerah yang menempati ranking satu adalah Kota Bandung’
UNTUK mengukur keberhasilan pemerintahan baik di tingkat nasional hingga daerah, masyarakat dapat memanfaatkan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai barometernya. Nah, kemajuan di Provinsi Jawa Barat pula, dapat diukur melalui IPM. Lantas di peringkat berapa IPM Jawa Barat secara nasional? Kabupaten kota apa paling tinggi IPM-nya?
IPM digunakan untuk mengukur capaian pembangunan manusia melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Yaitu dimensi kesehatan, pendidikan, serta ekonomi. Untuk mengukur aspek kesehatan, digunakan angka harapan hidup. Dimensi pendidikan, digabungkan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Sedangkan mengukur dimensi ekonomi, digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok.
BPS mengklasifikasikan capaian pembangunan manusia di suatu wilayah ke dalam empat kelompok. Kelompok sangat tinggi dengan IPM ≥ 80. Kelompok tinggi 70 ≤ IPM < 80. Kelompok sedang 60 ≤ IPM < 70. Dan kelompok rendah IPM < 60.
Berdasarkan data BPS Indonesia, ranking IPM Jawa Barat berada di peringkat 10 nasional. Di bawah Sumatera Barat peringkat ke sembilan. Di urutan satu kokoh DKI Jakarta. Pada tahun 2016, IPM Jawa Barat yaitu 70.05. Angka ini berada di bawah rata-rata nasional 70.18. Dibanding tahun sebelumnya yaitu 2015 berjumlah 69.5, IPM Jawa Barat naik 0.55 poin.
Jika dikaji IPM kabupatan kota di Jawa Barat, maka daerah yang menempati ranking satu adalah Kota Bandung. IPM Kota Bandung tahun 2016 sebesar 80.13. Di urutan dua Kota Bekasi 79.95. Ketiga Kota Depok 79.6. Lalu keempat Kota Cimahi 76.69. Dan kelima Kota Bogor 74.5.
Sementara itu, daerah dengan IPM terendah di Jawa Barat terletak di Kabupaten Cianjur 62.92. Kabupaten Tasikmalaya 63.92. Kabupaten Garut 63.57. Kabupaten Indramayu 64.78. Kemudian Kabupaten Sukabumi 65.13 (selengkapnya lihat tabel).

Perhitungan IPM sendiri, sebelumnya dibentuk oleh tiga dimensi dasar. Yakni umur panjang, standar hidup layak, dan pengetahuan. Hanya saja, metodologi perhitungan IPM tersebut telah diubah belum lama ini. Sehingga berdampak pada poin IPM Indonesia dan peringkat daerah dengan IPM tertinggi nasional.
Perubahan ini karena beberapa indikator dianggap sudah tidak tepat digunakan untuk menghitung IPM. Contohnya angka melek huruf yang dianggap sudah tidak relevan mengukur pendidikan secara utuh.(tmt)